Cari Blog Ini

Kamis, 28 Oktober 2010

"dinamika-dinamika Aliran Sesat"

B. Pengertian Aliran Sesat

Pertanyaan kita apakah aliran sesat itu semakna dengan gerakan sempalan.  Martin van Bruinussen mengatakan memang agak sedikit sukar membedakan antara mana gerakan sempalan, mana gerakan yang dinilai menyimpang atau sesat dan mana gerakan keagamaan yang dilarang karena kepentingan politik.  Dalam konteks sosiologis gerakan keagamaan, secara sederhana hanya dikenal dua terminologi yaitu aliran ortodoks (atau mainstream) dan aliran sempalan.  Gerakan ortodoks atau mainstream dianggap Islam yang paling ”tepat” dan (dalam batas-batas tertentu) dinilai paling benar, disamping dianut oleh banyak orang.  Dalam konteks Indonesia, menurut Martin gerakan ini diwakili oleh organisasi seperti MUI, Muhammadiyah maupun NU misalny.  Sedangkan istilah gerakan sempalan menurut Martin lazim dipakai secara normatif untuk aliran agama yang dinilai sesat dan membahayakan.  Namun, Martin menegaskan bahwa, kedua istilah tersebut berlaku secara kontekstual, dalam artian status ortodoksi dan sempalan atau sesat itu tidak berlaku tetap, akan tetapi dinamis.  Kemudian, Martin juga menyadari bahwa, taksonomi seperti ini memang beresiko, karena dalam sejarah perkembangan pemikiran dalam Islam terlihat bagaimana antara kalangan tradsionalis dan modernis saling menilai ”sesat” satu sama lain, meskipun penilaian ini ada yang dinyatakan secara eksplisit ada yang tidak.

Batasan terhadap pengertian atau istilah yang kita gunakan menjadi sangat penting, untuk menghindari kesewenang-wenangan tafsir atas gerakan keagamaan. Terus terang saja, khusus untuk kata aliran atau kelompok sempalan (apakan lagi aliran sesat) dalam kosa kata Indonesia bermakna peyoratif, baik dalam konteks sosial maupun politik.  Term ini oleh pemerintah Orde Lama dan Orde Baru di jadikan instrumen untuk mengkooptasi beberapa gerakan keagamaan yang dinilai ”mengancam” stabilitas dan integrasi bangsa.  Ternyata instrumen linguistik ini efektif untuk ”membasmi” kelompok-kelompok yang dikelompokkan sebagai ekstrim kanan.

Seiring dengan perubahan waktu dan perkembangan masyarakat, ternyata terma ini juga tetap bermakna peyoratif dan tetap efektif untuk mengeliminasi keberadaan kelompok lain yang dinilai ”berseberangan” dengan sikap dan pendirian ”Kita”.  Hanya dengan satu kata, ”sesat”, ”menghina”, orang tanpa pikir panjang bisa serta merta kehilangan kendali rasionalitas dan rasa kerahiman antara sesama manusia.  Ironisnya, terkadang ”mereka” bertindak tanpa mengetahui duduk persoalan secara persis dan mendalam.  Terlebih lagi, jika institusi atau tokoh-tokoh kharismatik yang menjustifikasi penilaian tersebut, mereka akan semakin yakin, seakan-akan membawa SK pembenaran untuk merusak, memukul dan membunuh satu sama lain.

Dalam konteks ini, sekali lagi untuk menghindari kesewenang-wenangan dalam menjustifikasi keberadaan pluralitas paham, kita perlu membuat batasan yang lebih rasional dan jernih, bukan semata-mata atas dasar ketidaksenangan, apalagi prasangka.  Kalau kita menelaah secara lebih mendalam tentang keberadaan paham-paham keagamaan, tidak memadai menilai sesat sebuah paham jika semata berdasarkan karena orang berbeda paham dengan kita.   Kemudian, jika kita ingin mengatakan bahwa, ini atau itu adalah ajaran yang sesat, setidaknya kita dapat menjelaskan, atas dasar apa kita menilai sebuah ajaran itu sesat.

Setidaknya menurut penulis, untuk sampai kepada penilaian tentang sesat tidaknya sebuah ajaran agama adalah; Pertama, harus dibedakan antara sengaja merusak dan menghina ajaran agama dengan sekedar perbedaan persfektif dalam melakukan penafsiran; Kedua, wilayah mana yang dinilai telah ”dirusak” oleh mereka yang dinilai sesat, seperti wilayah peribadatan yang telah berlaku qath’i, atau wilayah aqidah atau mu’amalah yang terbuka peluang terjadinya dialog dengan menghadirkan beragam persfektif, seperti filosofis, mistik (tashawuf), logika dan ilmu pengetahuan; Ketiga, dilihat dari aspek teleologis, yaitu apakah ajaran tersebut cenderung membawa orang kepada kemudharatan atau semangat pembangkangan (perlawanan) terhadap kemashalatan umum.  Inipun membutuhkan satu kajian yang lebih mendalam, agar tidak terjadi tyrani atas nama kebenaran dan menghindarkan kemudharatan  bagi ummat; Keempat, hal yang paling penting, dan ini jarang terjadi dalam kehidupan nyata, perlu ada ruang dialog terbuka secara santun dan rasional, tidak untuk memeriksa kepercayaan (tahkim), akan tetapi untuk memahami konstruksi atau persfektif mereka yang memiliki pandangan keagamaan yang berbeda.  Hemat penulis, jika keempat hal ini kita praktekkan, setidaknya dapat mengurangi praktek kesewenang-wenangan dalam penafsiran.

C. Aliran Sesat Dilihat Dari Persfektif Sejarah Perkembangan Aliran Keagamaan

Sebagaimana yang telah diuraikan terdahulu bahwa, terma sesat seringkali digunakan secara sewenang-wenang, dan dalam beberapa kasus dijadikan instrumen justifikasi untuk melakukan pembungkaman (silencing) terhadap ”kemerdekaan” berpikir.  Ditambah lagi, jamak dalam sejarah perkembangan Islam, seringkali intrik politik berhasil menyelinap ke dalam justifikasi normatif keagamaan, sehingga sukar menilai bahwa, proses justifikasi kesesatan sebagai murni fenomena normatif keagamaan, akan tetapi ”kental” dengan kepentingan ideologi dan politik praktis.
Tabel yang dikemukakan oleh R. Hrair Dekmejian berikut memperlihatkan bahwa, konflik senantiasa mewarnai proses peralihan kekuasaan politik dalam Islam.  Kalau kita mengkaji secara lebih  mendalam, juga akan terlihat dalam konstelasi politik tersebut, juga inklud proses justifikasi normatif keagamaan, sebagai sarana untuk meningkatkan konsolidasi diri.  Sebagai contoh, ketika terjadi konflik antara pendukung Ali bin Abi Thalib dan Mu’awiyah bin Abi Syofyan, kemudian berbuntut dengan penguatan afiliasi pengikut menjadi Syi’ah dan Ahl Sunnah, memperlihatkan bagaimana konflik ini tidak hanya memecah ummat Islam ke dalam afiliasi politik praktis, akan tetapi juga membuat ummat Islam terjebak pada posisi diametral untuk saling mengkafirkan (atau saling mengklaim sesat) antara satu dengan lainnya.

Tabel Gerakan Keagamaan Dalam Islam




Pemimpin
Gerakan Sebab-sebab
‘Umar II (w.720)
Degenerasi moral Umayyah
Ibn Hanbal (w. 855)
Imposisi Abbasiyah terhadap doktrin atau represi nagara yang dikuasai Mu’tazilah.
Ibn Hazm (w. 1064)
Kemunduran dan kekalahan Umayyah di Spanyol.

Ibn Taimiyyah (w. 132
Kehancuran Abbasiyah/Penaklukan Bangsa Tatar / Krisis ekonomi dan moral.

Ibn ‘Abd al-Wahhab (w.1791)
Kemunduran Turki-Utsmani/Krisis moral dan agama.
Gerakan Sanusiyah (1880an)
Krisis keagamaan masy. tribal/Penaklukan Bangsa Italia.
Gerakan Mahdiyah (1880an)
Konflik keagamaan masy. tribal/Krisis ekonomi / Penguasa Anglo-Mesir-Turki.

Gerakan Salafiyyah (1890an)
Militer Eropa/Imperialisme kultural dan ekonomi.

Ikhwanul Muslimin (1930an)
Krisis sosial-ekonomi-politik/Kehadiran imperialis Inggris.

Sumber : R. Hrair Dekmejian, “Islamic Revival, Catalysts, Categories, and Consequences,” dalam Shireen T. Hunter (ed.), The Politics of Islamic Revivalism, Diversity and Unity, 1988. (dalam Moeflich Hasbullah, 2007)


D. Fenomena Aliran Sesat Dalam Pandangan Teoritikus Ilmu Sosial

Ada beberapa sosiolog yang berupaya menerangkan tentang keberadaan gerakan sempalan (terutama dalam masyarakat Eropa), diantaranya adalah Troeltsch dan Bryan Wilson.  Troeltsch memulai analisanya dengan membedakan antara dua jenis wadah ummat beragama yang secara konseptual merupakan dua kubu bertentangan, yaitu tipe gereja dan tipe sekte.  Tipe gereja yang dimaksudkan oleh Troeltsch adalah Gereja Katolik pada abad pertengahan, dimana organisasi ini mencakup dan mendominasi seluruh masyarakat dan segala aspek kehidupan.  Institusi ini kemudian menjadi sangat mapan, dan kemudian cenderung bersifat konservatif, formalistik dan memiliki hubungan yang kuat dengan elit penguasa (baik politik maupun ekonomi). Kemudian dalam organisasi ini juga terdapat struktur hirarkhi yang ketat dan ada sebagian ulama yang dianggap memiliki otoritas mutlak dalam bidang ilmu dan memonopoli tafsir kebenaran agama.

Kemudian tipe sekte yaitu organisasi yang lebih kecil, dengan hubungan antara  anggotanya yang lebih besifat longgar dan egaliter.  Anggota dari sekte ini biasanya lebih bersifat sukarela, dan sebagian besar tidak lahir dalam tradisi sekte, akan tetapi mereka secara suka rela atau atas kehendak sendiri untuk bergabung.  Namun demikian, mereka termasuk orang-orang yang kuat memegang prinsip, menuntut ketaatan kepada nilai moral yang ketat, dan senantiasa mengambil jarak dari penguasa dan kenikmatan material.  Dalam sekte juga berlaku doktrin yang mengajarkan bahwa ajaran yang mereka anut lebih murni, lebih konsisten dalam menjalani perintah kitab suci.  Ciri lain dari tipe sekte adalah bersifat eksklusif, yaitu ada perbedaan yang tajam antara ajaran yang mereka pegang dengan orang yang ada di luar sekte tersebut.  Secara sosiologis, sekte biasanya muncul di kalangan masyarakat yang secara ekonomi dan pendidikan dinilai “lemah” atau “rendah”.

Kemudian gerakan mistisisme (atau gerakan individualisme religius) yang merupakan bentuk reaksi terhadap ortodoksi gereja.  Reaksi ini timbul karena gereja dianggap kehilangan otentisitas ajarannya, sehingga terkesan kering dan formal.  Disamping itu, institusi gereja juga dinilai terlalu “dekat” dengan kekuasaan.  Akhirnya, gerakan mistisisme ini berupaya memusatkan perhatiannya pada proses penghayatan ruhani secara individual dan mulai “meninggalkan” kehidupan nyata dalam masyarakat.  Secara sosiologis, para penganutnya bisa datang dari kalangan yang mapan (establised), baik secara ekonomi maupun latar belakang pendidikan.

Richard Niebuhr (sosiolog agama Amerika Serikat) juga pernah melakukan penelitian serupa, seputar dinamika sekte dan lahirnya denominasi.  Konon menurut Martin van Bruinessen teori Richard mirip dengan teori sejarah Ibn Khaldun.  Menurut Richard bahwa, banyak sekte yang semula lahir sebagai lembaga untuk melakukan gerakan protes terhadap konservatisme dan kekakuan gereja dan Negara.  Tapi, gerakan ini lambat laun menjadi lebih lunak, mapan (establish) dan terorganisir secara rapi dan formal.  Dalam satu hingga tiga generasi, dan semakin banyak generasi yang lahir dalam tradisi sekte tersebut, maka kesukarelaan yang selama ini menjadi ciri sekte menjadi hilang.  Semua anggota sudah tidak sama lagi, hirarkhi mulai terbentuk dan bermunculanlah kaum pendeta yang mulai mengklaim bahwa, mereka diperlukan oleh kaum awam. Jadi, gerakan yang semula merupakan gerakan sekte kemudian bermetamorfosa menjadi semacam gereja sendiri, salah satu diantara sekian banyak denominasi.  Sebagai akibatnya, akan muncul gerakan sempalan baru yang berupaya mengkritisi dan memurnikan gerakan tersebut.   Gerakan pemurnian ini kemudian akan menjadi denominasi baru.  Demikianlah siklus ini akan terus menerus berlangsung.

Menurut Martin Van Bruinessen bahwa, teori yang dikemukakan oleh Richard Niebuhr dianggap terlalu skematis; karena dalam kenyataanya sekte- sekte tidak selalu menjadi denominasi.  Pendapat Niebuhr semata berdasarkan dari pengalaman kehidupan beragama di Amerika Serikat.  Berdasarkan pengamatannya bahwa,  semua gereja di Amerika Serikat memang merupakan denominasi yang pernah mulai sebagai gerakan sempalan dari denominasi lain. Siklus perkembangan yang begitu jelas, agaknya, berkaitan dengan kenyataan bahwa masyarakat Amerika Serikat terdiri dari para immigran, yang telah datang gelombang demi gelombang.

Setiap gelombang pendatang baru menjadi lapisan sosial paling bawah; dengan datangnya gelombang pendatang berikut, status sosial mereka mulai naik. Pendatang baru yang miskin seringkali menganut sekte-sekte radikal; dengan kenaikan status mereka sekte itu lambat laun menghilangkan radikalismenya dan menjadi sebuah denominasi baru.

Tigapuluh tahun sesudah Niebuhr, sosiolog Amerika yang lain, Milton Yinger (dalam Martin van Bruinessen, 1992), merumuskan kesimpulan dari perdebatan mengenai sekte dan denominasi, bahwa sekte yang lahir sebagai protes sosial cenderung untuk bertahan sebagai sekte, tetap terpisah dari mainstream, sedangkan sekte yang lebih menitikberatkan permasalahan moral pribadi cenderung untuk menjadi denominasi. Itu tentu berkaitan dengan dasar sosial kedua jenis sekte ini - sekte radikal cenderung untuk merekrut anggotanya dari lapisan miskin dan tertindas. Dengan demikian hubungan sekte ini dengan negara dan denominasi yang mapan akan tetap tegang. Jenis sekte yang kedua lebih cenderung untuk menarik penganut dari kalangan menengah, dan akan lebih mudah berakomodasi dengan, dan diterima dalam, status quo.


Klasifikasi sekte dalam beberapa jenis dengan sikap dan dinamika masingmasing
dikembangkan lebih lanjut oleh seorang sosiolog Inggeris, Bryan Wilson. Ia berusaha membuat tipologi yang tidak terlalu tergantung kepada konteks budaya Kristen Barat. Tipologi ini disusun berdasarkan sikap sektesekte terhadap dunia sekitar.[8] Wilson melukiskan tujuh tipe ideal (model murni) sekte. Sekte-sekte yang nyata biasanya berbeda daripada tipe-tipe ideal ini, yang hanya merupakan model untuk analisa. Dalam kenyataannya, suatu sekte bisa mempunyai ciri dari lebih dari satu tipe ideal. Tetapi hampir semua tipe ideal Wilson terwakili oleh gerakan sempalan yang terdapat di Indonesia.

Tipe pertama adalah sekte conversionist, yang perhatiannya terutama kepada perbaikan moral individu. Harapannya agar dunia akan diperbaiki kalau moral individu-individu diperbaiki, dan kegiatan utama sekte ini adalah usaha untuk meng-convert, men- tobat-kan orang luar. Contoh tipikal di dunia Barat adalah Bala Keselamatan; di dunia Islam, gerakan dakwah seperti Tablighi Jamaat mirip tipe sekte ini.

Tipe kedua, sekte revolusioner, sebaliknya mengharapkan perubahan masyarakat secara radikal, sehingga manusianya menjadi baik. Gerakan messianistik (yang menunggu atau mempersiapkan kedatangan seorang Messias, Mahdi, Ratu Adil) dan millenarian (yang mengharapkan Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia meletusnya zaman emas) merupakan contoh tipikal. Gerakan ini secara implisit merupakan kritik sosial dan politik terhadap status quo, yang dikaitkan dengan Dajjal, Zaman Edan dan sebagainya. Gerakan messianistik, seperti diketahui, banyak terjadi di Indonesia pada zaman kolonial -- dan memang ada sarjana yang menganggap bahwa gerakan jenis ini hanya muncul sebagai reaksi terhadap kontak antara dua budaya yang tidak seimbang. Kalau harapan eskatologis tetap tidak terpenuhi, suatu gerakan yang semula revolusioner akan cenderung untuk tidak lagi bekerja untuk transformasi dunia sekitar tetapi hanya memusatkan diri kepada kelompoknya sendiri atau keselamatan ruhani penganutnya sendiri - semacam uzlah kolektif. Mereka mencari kesucian diri sendiri tanpa mempedulikan masyarakat luas. Wilson menyebut gerakan tipe ini introversionis. Gerakan Samin di Jawa merupakan kasus tipikal gerakan mesianistik yang telah menjadi introversionis.

Tipe keempat, yang dinamakan Wilson manipulationist atau gnostic("ber-ma'rifat") mirip sekte introversionis dalam hal ketidakpeduliannya terhadap keselamatan dunia sekitar. Yang membedakan adalah klaim bahwa mereka memiliki ilmu khusus, yang biasanya dirahasiakan dari orang luar. Untuk menjadi anggota aliran seperti ini, orang perlu melalui suatu proses inisiasi (tapabrata) yang panjang dan bertahap. Tipe ini biasanya menerima saja nilai-nilai masyarakat luas dan tidak mempunyai tujuan yang lain. Klaim mereka hanya bahwa mereka memiliki metode yang lebih baik untuk mencapai tujuan itu. Theosofie dan Christian Science merupakan dua contoh Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia jenis sekte ini di dunia Barat. Di Indonesia, ada banyak aliran kebatinan yang barangkali layak dikelompokkan dalam kategori ini; demikian juga kebanyakan tarekat, yang mempunyai amalan-amalan khusus dan sistem bai'at.

Tipe kelima adalah sekte-sekte thaumaturgical, yaitu yang berdasarkan sistem pengobatan, pengembangan tenaga dalam atau penguasaan atas alam gaib. Pengobatan secara batin, kekebalan, kesaktian, dan kekuatan "paranormal" lainnya merupakan daya tarik aliran-aliran jenis ini, dan membuat para anggotanya yakin akan kebenarannya. Di Indonesia, unsur-unsur thaumaturgical terlihat dalam berbagai aliran kebatinan dan sekte Islam, seperti Muslimin-Muslimat (di Jawa Barat).

Tipe ke-enam adalah sekte reformis, gerakan yang melihat usaha reformasi sosial dan/atau amal baik (karitatif) sebagai kewajiban esensial agama. Aqidah dan ibadah tanpa pekerjaan sosial dianggap tidak cukup. Yang membedakan sekte-sekte ini dari ortodoksi bukan aqidah atau ibadahnya dalam arti sempit, tetapi penekanannya kepada konsistensi dengan ajaran agama yang murni (termasuk yang bersifat sosial).
Gerakan utopian, tipe ketujuh, berusaha menciptakan suatu komunitas ideal di samping, dan sebagai teladan untuk, masyarakat luas. Mereka menolak tatanan masyarakat yang ada dan menawarkan suatu alternatif, tetapi tidak mempunyai aspirasi mentransformasi seluruh masyarakat melalui proses revolusi. Tetapi mereka lebih aktivis daripada sekte introversionis; mereka berdakwah melalui contoh teladan komunitas Gerakan Sempalan di Kalangan Ummat Islam Indonesia mereka. Komunitas utopian mereka seringkali merupakan usaha untuk menghidupkan kembali komunitas umat yang asli (komunitas Kristen yang pertama, jami'ah Madinah), dengan segala tatanan sosialnya. Di Indonesia, kelompok Isa Bugis (dulu di Sukabumi, sekarang di Lampung) merupakan salah satu contohnya, Darul Arqam Malaysia dengan "Islamic Village"nya di Sungai Penchala adalah contoh yang lain.

Berdasarkan pisau analisa yang dibuat oleh Troeltsch, Richard Niebuhr, Milton Yinger dan Bryan Wilson di atas lebih memberikan perhatian terhadap latar belakang lahir gerakan sempalan dan karakteristik dari masing-masing gerakan tersebut.  Beberapa bagiannya (terlebih karakteristik Wilson) berguna untuk mengidentifikasi gerakan sempalan maupun alisan sesat keagamaan di Indonesia.   Namun, beberapa teori di atas belum memadai untuk menerangkan secara lebih terperinci tentang faktor yang menyebabkan timbulnya aliran-aliran keagamaan yang dinilai sesat.

E. Analisa Sosiologis Terhadap Aliran Sempalan

Untuk memahami fenomena aliran yang dinilai sesat dalam konteks Indonesia, penulis melihatnya sebagai sebuah gejala sosio-politis, ketimbang sebagai sebuah gejala keagamaan murni.  Secara sosiologis, bermunculan banyak aliran sesat dan fenomena masyarakat mudah ”percaya” dengan segala janji-janji yang instan, ini dapat terjadi karena beberapa faktor, diantaranya adalah; ketika masyarakat sedang mengalami diorientasi hidup, ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial, politik dan ekonomi (atau ketika masyarakat terlalu lama berada dalam kondisi ”penderitaan”), ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup yang serba sulit.   Disorientasi hidup adalah kondisi dimana manusia tidak lagi memiliki arah atau pedoman hidup yang jelas.  Segala jalan yang mereka tempuh tidak memberikan arti dan bermakna lagi bagi mereka.  Akibatnya mereka terus menerus mencari pemuasan diri, namun rasa dahaga juga bergerak (berbanding terbalik) dari hasrat pemuasan tersebut.   Akibatnya, kepuasan dan kesenangan yang diperoleh hanya kesenangan yang bersifat semu dan palsu (pseudo) belaka.   Kondisi seperti ini yang disebut dengan disorientasi hidup, akibatnya mereka akan sangat mudah diombang-ambing oleh situasi (keadaan), karena mereka berharap dapat menemukan kepuasan yang mereka cari, meskipun kadang akal sehat mereka tidak lagi berfungsi sepenuhnya.

Kondisi kedua adalah ketika masyarakat mengalami frustasi secara sosial, politik dan ekonomi.  Akibat terlalu lama menderita secara ekonomi dan sosial, orang akan merasa kehilangan harapan (hopeless), kehilangan masa depan (futureless) dan kehilangan gairah (passionless) yang pada akhirnya akan ”meruntuhkan” kepercayaan secara politik (kepada otoritas politik).  Pekerjaan sulit, cari makan sulit, sehari-hari kita hidup dalam ”dunia yang terancam” dan lingkaran kekerasan, kebengisan melihat tabiat para pemimpin (atau mereka yang mengklaim suara rakyat) ataupun kemarahan terhadap sepak terjang para penegak hukum, kondisi-kondisi ini akan mendorong timbulnya kemarahan yang menggumpal, yang akan berbuntut rasa frustasi secara sosial, ekonomi maupun secara politik.  Kondisi mental seperti akan membuat kita tidak stabil, baik secara intelektual, mental dan sosial.  Orang yang ”rapuh” situasi intelektual, mental dan sosial tersebut akan sangat gampang terjebak kepada lingkaran kemarahan (kekerasan) atau mengambil jalan pintas ”escafe from reality” (lari dari kenyataan).  Pilihan untuk menjadi penganut ajaran-ajaran sesat yang menjanjikan dengan cepat solusi atas persoalan tersebut.   Atau malah mengambil bagian dari gerakan perlawanan sosial –sebagai bentuk reaksi--  terhadap keadaan yang dinilai korup (despotism, meskipun dalam tafsiran kesemestaan dirinya sendiri), dimana kekerasan adalah salah satu manifestasi dari semangat pembebasan tersebut.

Kondisi ketiga adalah ketika masyarakat tidak mampu lagi menghadapi kenyataan hidup yang serba sulit.  Menurut Hrair Dekmejian (Profesor Ilmu Politik Universitas Souther California Los Angeles) dalam bukunya Islam and Revolution:   Fundamentalism in the Arab World (Syracuse University Press, 1985) mengatakan bahwa, ada relevansi antara krisis sosial dengan kebangkitan agama.  Dengan mengambil sampel yang terjadi di dunia Islam (selama 14 abad) memperlihatkan bahwa,  Islam telah menunjukkan kapasitasnya yang unik untuk memperbarui dan mereformulasi dirinya melalui suatu sistem yang ia sebut self-regenerating social mechanism (mekanisme sosial regenerasi diri).  Mekanisme ini berfungsi merespon suasana dimana ideologi-ideologi dan kekuatan-kekuatan sosial sedang bertempur satu sama lain.  Mekanisme tersebut berfungsi “secara otomatis” pada saat integritas moral atau eksistensi umat sedang terancam.  Dekmejian berupaya membuktikan tesisnya bahwa, siklus dinamika krisis dan kebangkitan ini terimplementasikan pada hampir sepanjang sejarah Islam.   Reaksi kebangkitan dalam sejarah dunia Islam beragam, mulai dari gerakan radikal (revivalis) hingga gerakan neo-moderen (liberalis).   Jika analisa Dekmejian ini kita pakai, ketika krisis yang terjadi (baik dalam konteks sosial, ekonomi dan politik) terus menerus terjadi tanpa ada penyelesaian, lambat laun ia akan membnetuk siklus dinamika krisis, dalam kondisi seperti ini maka akan muncul beragam reaksi (kebangkitan), mulai dari gerakan yang ”diam” (seperti ajaran-ajaran agama yang menyimpang), tapi ada juga yang memilih gerakan yang sifatnya ”ramai” (dengan cara kekerasan).  Fenomena FPI hemat saya merupakan salah satu bentuk dari reaksi terhadap krisis yang terjadi dalam masyarakat yang terus terjadi berulang-ulang.  Krisis sosial (kemiskinan, kebodohan, prostitusi, perjudian dlsb), krisis ekonomi (kenaikan harga BBM, kesulitan mencari lapangan kerja dan rasa hopeless), krisis politik (runtuhnya kepercayaan terhadap pemimpin dan elit politik).


Source : http://caireu.com




----.............----------------.........................|||||------------------------.............____----|||||

Rabu, 27 Oktober 2010

"Rahasia Kekuatan Pikiran"

Rahasia Kekuatan Pikiran

Alkisah suatu hari Raden Rangga, seorang pangeran Mataram Putra Panembahan Senopati Ing Ngalogo, sedang bermain-main di suatu pinggiran hutan. Raden Rangga dikenal sebagai seorang pangeran yang sangat sakti. Mainannya bukanlah mainan seperti yang dilakukan kebanyakan anak muda. Sebuah batu besar ia main-mainkan dengan cara ditepuk-tapuk dan ditusuk-tusuk secara empuk dengan ujung jarinya layaknya adonan kue. Sungguh luar biasa bagi orang yang melihatnya. Dia melakukan itu bukan dengan menguatkan ujung jarinya sehingga kuat seperti besi, tetapi batu yang dia mainkan yang menjadi lunak seperti adonan kue.

Ketika sedang asyik bermain tersebut, tiba-tiba datanglah Ki Juru Martani, yang masih terhitung kakeknya, menegur Raden Rangga,” Hai, jangan main-main dengan batu itu. Batu itu keras, nanti tanganmu sakit!”

Aneh, begitu mendengar kata-kata Ki Juru Martani tersebut tiba-tiba batu mainan Raden Rangga menjadi keras dan Raden Rangga pun menjerit kesakitan begitu jari-jari tangannya menusuk batu itu. Raden Rangga pun merasa gusar kepada Ki Juru Martani.

Sewaktu muda Sunan Kalijaga pernah menjadi perampok ala Robin Hood dengan nama Begal Lokajaya. Dia melihat banyak kehidupan yang timpang antara rakyat jelata yang miskin dengan para pejabat kerajaan, baik Kerajaan Demak yang baru berdiri maupun Kerajaan Majapahit yang hampir runtuh. Oleh karena itu sasaran rampoknya adalah para bangsawan rakus, dan hasil rampokannya dibagikan kepada rakyat miskin.

Suatu ketika Lokajaya mencegat seorang musafir yang sedang lewat. Dalam penglihatan Lokajaya musafir tersebut membawa sebilah tongkat emas. Dirampoklah dia untuk diminta tongkat emasnya.

Sang musafir yang kemudian dikenal sebagai Sunan Bonang dengan tenang berkata,” Anak muda, kalau kau menginginkan emas, lihatlah buah kolang-kaling dipohon itu.” Sambil menunjuk ke arah pohon kolang-kaling dengan tongkatnya beliau berkata lagi,” kolang-kaling itu emas semua. Ambillah!”

Lokajaya pun takjub demi melihat bertandan-tandan kolang-kaling berubah menjadi emas berkilauan. Dia pun bergegas untuk memanjat dan memetik kolang-kaling emas itu.

Dua kisah di atas adalah cerita rakyat dari mulut ke mulut di kalangan masyarakat Jawa. Sebagian menganggap itu hal tidak masuk akal dan hanya mitos, namun sebagian yang lain percaya itu betul-betul terjadi dan menjadi bagian dari sejarah masa lalu negeri ini.

Semua itu adalah hasil dari kekuatan pikiran. Ketika pikiran kita betul-betul fokus dan kita yakin, maka apa yang kita pikirkan itu akan menjadi kenyataan. Apapun itu. Karena ketika kita fokus dan yakin, kekuatan semesta akan bergerak mendukung.

Raden Rangga yang tadinya bisa fokus menganggap batu sebagai adonan roti tiba-tiba buyar pikirannya oleh ucapan Ki Juru Martani sehingga batu menjadi keras kembali. Bukan karena Ki Juru Martani yang lebih hebat, tetapi karena Rangga yang memang kemudian terpengaruh oleh ucapan Juru Martani bahwa batu itu keras sehingga itu mengembalikan logika berpikir dia bahwa di mana-mana yang namanya batu itu ya keras, dan menghilangkan keyakinan dia bahwa sesuatu yang keras pun bisa dilunakkan dengan pikiran kita.

Begitu pun dengan Lokajaya. Kekuatan pikiran dan keyakinan Sunan Bonang mampu mengubah buah kolang kaling menjadi emas dalam sekejap. Namun ketika ditinggal pergi, logika Lokajaya kembali bekerja bahwa tidak mungkin buah-buahan menjadi emas. Karena pikirannya tidak mempercayai, akhirnya buah kolang-kaling emas itu pun kembali menjadi buah biasa. Itu semua adalah hasil dari kekuatan pikiran mereka.

Pada zaman dahulu, orang-orang perlu bertapa selama kurun waktu yang lama untuk bisa menjadi “sakti”. Mengapa perlu bertapa? Karena pada saat itu ya itulah cara yang diyakini bisa membangkitkan kekuatan bawah sadar, dan cara untuk memfokuskan pikiran dan keyakinan kita sampai akhirnya mencapai tahap “sakti” dan bisa melakukan hal-hal ajaib yang sulit diterima nalar. Mereka tidak tahu bahwa ada cara yang lebih efektif untuk bisa melakukan semua itu, yaitu tinggal percaya dan yakin saja. Nha, pada zaman dulu itu untuk bisa yakin dan percaya orang perlu bertapa atau melakukan ritual-ritual tertentu sehingga mereka betul-betul yakin dan percaya diri. Hasilnya pun tergantung seberapa kuat kepercayaan dan keyakinan setiap individu akan “bisa mewujud”-nya impian mereka.

Di zaman modern karena orang semakin tahu ilmunya, tidak perlu bertapa pun asalkan bisa memfokuskan pikiran dan keinginan, maka hal-hal ajaib pun bisa diwujudkan. Keajaiban bukanlah monopoli masa lalu atau zaman dongeng.

Ada beberapa orang yang secara bawaan memang gampang untuk memfokuskan pikiran dan keyakinan, bahkan tanpa mereka sendiri sadari bahwa mereka telah fokus. Sehingga ada orang-orang yang dengan mudah melakukan hal-hal luar biasa yang sulit atau bahkan tidak mungkin dilakukan orang lain karena secara bawaan dia dibekali kemampuan untuk fokus dengan keinginannya, dan kecerdasan untuk menerima daya kerja bawah sadar yang kadang tanpa mereka sadari.

Ada juga sebagian orang yang perlu pelatihan untuk bisa mengerti dan mempraktekkan ilmu fokus itu. Dalam mencapai tahap yakin akan kekuatan keinginan (baca: impian) ini ada sebagian yang bisa dibangkitkan hanya dengan cara diberi tahu rahasianya atau melalui beberapa pelatihan saja. Tapi ada juga yang perlu melakukan ritual-ritual tertentu seperti manusia masa lampau. Semua itu tergantung “kecerdasan spiritual” setiap individu.

Di zaman sekarang, kekuatan ajaib seperti Raden Rangga tidaklah begitu diperlukan dan keajaiban mengubah kolang-kaling menjadi emas secara sim salabim juga sulit dilakukan. Kenapa? Karena manusia zaman sekarang terbiasa berpikir dengan logika. Mereka tidak bisa menginginkan dan tidak bisa yakin bahwa batu bisa menjadi lunak selunak adonan kue dan kolang kaling bisa menjadi emas karena logika kita justru meyakini itu tidak mungkin. Semakin tidak masuk akal keajaiban yang kita inginkan, logika kita menolak semakin kuat. Bahkan secara tidak kita sadari pun logika kita bisa tetap bekerja, karena sejak kecil memang kita sudah diajari untuk menggunakan logika dari pada kekuatan pikiran. Akhirnya meskipun kadang kita menghayalkan suatu keajaiban namun secara logika tidak mempercayai ya akhirnya itu tidak bisa terwujud.

Dalam dunia yang lebih relevan dengan kebutuhan sekarang kekuatan pikiran itu tetap bisa kita gunakan untuk mencapai semua dream kita. Dalam dunia bisnis dan dunia kompetisi lainnya, misalnya olah raga, ini tetap berlaku sama. Harus fokus, percaya dan yakin. Karena kebiasaan kita berpikir dengan logika, maka dalam menginginkan sesuatu pun biasanya kita lebih bisa percaya semua bekerja sesuai batas logika kita. Akhirnya meskipun kita fokus pada dream kita, karena secara tidak sadar kita membatasi kejadiannya sesuai logika kita dan bukan ajaib sim salabim dalam sekejap, maka keyakinan kita pun bisa mewujud tetapi tetap dalam kerangka logika kita. Misalnya Anda menginginkan sebuah vila mewah di sebuah bukit yang indah. Karena Anda pasti tidak percaya bahwa vila mewah itu bisa terwujud dengan cara abrakadabra dalam sekejap melainkan melalui proses tertentu, akhirnya yang terjadi pun demikian. Anda perlu membangun bisnis dulu, bekerja keras, mengumpulkan hasil baru kemudian membangun vila di atas bukit dan impian Anda pun menjadi kenyataan yang artinya pikiran Anda telah mewujud.

Ada banyak sekali contoh orang modern yang “sakti”, yang berkat keyakinannya bisa mewujudkan impian mereka walaupun sebelumnya tampak mustahil, yang bekerja dengan mengikuti pola logika mereka dan logika kita sekarang.. Sebut saja Wright bersaudara yang sukses mewujudkan impian mereka untuk membuat pesawat terbang, padahal keyakinan umum orang waktu itu tidak mungkin ada benda yang lebih berat dari burung bisa terbang. Thomas Alva Edison yang walaupun ratusan kali gagal, namun karena dia tetap yakin bahwa dia bisa menemukan lampu pijar akhirnya betul-betul bisa menemukan lampu pijar. Kolonel Sander yang yakin ayam gorengnya akan laku keras meskipun ditolak ribuan kali, tetapi karena dia sangat yakin akhirnya terwujudlah Restoran Cepat Saji KFC yang sekarang tersebar di seluruh dunia. Masih banyak lagi contoh orang-orang yang sukses berkat keyakinan yang kuat, yang tidak peduli dengan suara dari luar hingga bisa mewujudkan semua impian mereka. Ada pun orang-orang yang lebih percaya mendengar orang lain yang mementahkan impian mereka, mereka pun akan gagal di tengah jalan, seperti Raden Rangga yang buyar pikirannya karena mendengar perkataan Ki Juru Martani.

Itulah sesungguhnya kekuatan pikiran kita. Pikiran kita bisa mewujud menjadi apa saja. Jadi kalo Anda mempunyai impian, yakinlah bahwa impian Anda pasti bisa terwujud, cepat atau lambat. Kalau Anda membangun bisnis, yakinlah bahwa Anda pasti bisa mewujudkan bisnis seperti yang Anda inginkan. Jangan hiraukan logika Anda bahwa ini tidak mungkin itu tidak masuk akal dan sebagainya. Tetaplah fokus dan yakin, maka Tuhan dengan melalui system yang paling canggih di alam semesta ini akan membukakan jalan sesuai logika Anda dan mewujudkan keinginan Anda. Anda tidak perlu lagi bertapa, cukup yakin dan percaya saja pada impian Anda. Dan sungguh menggembirakan semua orang, karena untuk yakin dan percaya tidak perlu bayar alias gratis. Namun ada kabar buruknya, bagi orang-orang yang terbiasa menghitung dengan logika, akan lebih sulit untuk bisa yakin bahwa hanya dengan kekuatan pikirannya bisa mewujudkan keajaiban. Tapi pada prinsipnya karena untuk yakin dan percaya tidak perlu mengambil ke mana-mana, artinya pada dasarnya semua orang bisa. Artinya semua orang juga bisa sukses.

Terus kenapa tidak semua orang bisa mewujudkan keinginan mereka padahal mereka tahu akan kekuatan impian? Jawabannya karena logika atau pikiran mereka sendirilah yang mementahkan atau menghalangi keyakinan akan terwujudnya impian mereka. Mereka justru disibukkan dengan otak atik logika mereka : bagaimana ini mungkin, bagamana orang seperti saya bisa, bagaimana itu bisa terwujud, tidak masuk akal dan sebagainya.

Karena itu tetaplah percaya dan yakin, impian Anda akan terwujud, bukan dengan sim salabim tapi mewujud sesuai dengan logika yang bisa Anda pahami.

Satu hal yang sangat penting, karena dengan keyakinan pikiran kita bisa mewujud menjadi apa saja sesuai pikiran yang tertanam sampai alam bawah sadar kita, tidak peduli itu pikiran negatif atau positif. Hal negatif yang kita pikirkan terus menerus sampai merasuk sel-sel tubuh kita akan mewujud menjadi kenyataan dalam hidup kita, meskipun itu ditujukan pada orang lain. Karena itu jika kita menginginkan hal-hal positif yang terjadi dalam hidup kita, selalulah berpikir positif, untuk diri sendiri dan untuk orang lain. Anda akan menerima kebaikannya.
.....................-------.....................++++..............................------------------||||||||||||

Selasa, 26 Oktober 2010

"Penulis"

    


    "Febri Perdana Putra"

"Bekasi, 15-February-1990"

 
Pendidikan




1. Lulusan SDN Mekarsari 01 Tambun Selatan Bekasi pada tahun 2002.

Sekolah yg terletak di jalan Mekarsari atau tepatnya di Belakang POLSEK Tambun Selatan adalah tempat pertama kali aby menuntut Ilmu. pada saat itu SD ini merupakan salah 1 SD favorit, itu di buktikan dengan Pelajaran KOMPUTER yg sudah di berikan sejak kami kelas 3 SD. di bandingkan sekolah2 SD lain pada tahun tersebut yg belum memberikan pelajaran komputer.

Di sinilah awal dari saya mulai menyukai Pelajaran Komputer,. banyak kenangan yg telah saya lalui di SD ini. kawan-kawan yg baik, guru-guru yg ramah. serta lingkungan yg sangat mendidik.

2. Alumni SMPN 3 Tambun Selatan.
Di sekolah ini saya melanjutkan Pendidikan tingkat menengah. di tempat ini saya mendapatkan banyak sekali pelajaran tentang berorganisasi. karena pada saat itu, saya cukup aktif sebagai angggota pramuka dan osis di threetam. banyak prestasi yg sudah saya dan kawan-kawan lain dapatkan pada saat mengikuti perlombaan-perlombaan pramuka di daerah bekasi dan sekitar. setidaknya selama 3 thun kami berhasil meraih belasan piala dan juara di berbagai ajang.

Tidak hanya prestasi di tempat ini juga saya mendapatkan arti dari kerja keras, usaha, dan persahabatan. hingga kini saya rasa saya masih banyak berhutang budi kepada sekolah ini. tapi saya masih mempunyai sebuah janji di diri saya sendiri. untuk tidak datang ke tempat ini, sebelum saya berhasil dan dapat membanggakan SMP 3 sebagai almamater pendidikan saya.

3. Lulusan SMK Islamic Centre Cirebon.

"Sekolah Menengah Kejuruan" yg berada di daerah cirebon akhirnya menjadi tujuan Pendidikan saya berikutnya. bosan dengan keadaan di bekasi yg pada saat itu tidak jauh dengan tauran antar pelajar, Perkelahian antar Pelajar. akhirnya saya memutuskan untuk melanjutkan dan mencari ilmu ke kota udang.

teryata tdk percuma saya jauh2 merantau ke kota ini. di sini saya mendapatkan Ilmu tentang komputer dengan masuk ke Program Keahlian Teknologi Informatika dan mengambil Jurusan Multimedia Komputer. selain aktif dikelas, saya juga meneruskan Hoby saya untuk berorganisasi, di sini saya berhasil Menjadi ketua di 2 organisasi yg ada di IC. Pramuka dan Osis.

Selain mendapatkan Ilmu pengetahui, saya juga mendapatkan Pelajaran tentang kemandirian, keprihatinan, karena saya tinggal sendiri tanpa sanak kluarga di kota ini. setelah 3 tahun menuntut ilmu akhirnya saya berhasil menyelesaikan pendidikan dengan nilai yg memuaskan.

selain itu, teryata keputusan untuk menjadi perantau telah membuat saya mendapatkan banyak teman di sini. teman2 yg sampai sekarang saya anggap sebagai salah satu tujuan kenapa saya harus bisa menjadi orang yg sukses...

4. Mahasiswa Di Bina Sarana Informatika.
Saat ini saya masih melanjutkan Pendidikan di salah satu Amik BSI. dengan mengambil Jurusan Teknik Komputer.

...............................................-+++++-...................................................----------------||||||||

Asal Mula

Pernahkan Anda memikirkan bagaimana tanda tanya (?) atau tanda seru (!) muncul? Dari manakah datangnya tanda-tanda tersebut? Ternyata sejarah
dibelakang tanda baca ini cukup lucu. Kita liat satu per satu yuk gan..

1. Tanda Tanya



Pada awalnya, dalam bahasa latin, untuk mengindikasikan pertanyaan, orang harus menuliskan kata “Questio” di akhir kalimat untuk menandakan bahwa kalimat tersebut adalah kalimat tanya. Maka untuk menghemat tempat, kata tersebut akhirnya disingkat menjadi qo, yang kemudian dimampatkan lagi menjadi huruf q kecil diatas huruf o, yang akhirnya makin lama makin habis menjadi titik dan garis mirip cacing, persis seperti tanda tanya kita sekarang.

2. Tanda Seru


Seperti tanda tanya, awalnya juga dimulai dengan menumpuk huruf. Tanda ini berasal dari kata dalam bahasa Latin “io” yang berarti “seruan kegembiraan”. ketika huruf i ditulis diatas huruf o, lama-lama dipersingkat seperti tanda seru kita sekarang ini.

3. Tanda Sama Dengan


Ditemukan oleh ahli matematika Inggris Robert Recorde pada 1557, dengan pemikiran seperti ini (dalam bahasa Inggris kuno) “I will settle as I doe often in woorke use, a paire of paralleles, or Gmowe [i.e., twin] lines of one length, thus : , bicause noe 2 thynges, can be more equalle.” atau terjemahannya: “Aku akan menggunakan tanda ini seperti biasanya, sepasang garis sejajar, atau kembar dengan panjang yang sama, karena tidak ada dua hal lagi yang bisa lebih sama dengan dua garis sejajar ini.” Tanda sama dengan asli temuan Robert setidaknya 5 kali lebih panjang dari yang kita kenal sekarang.

4. Ampersand (tanda “&”)


Simbol ini adalah bentuk stilir dari “et” dalam bahasa Latin yang berarti “Dan.” Tanda ini ditemukan oleh Marcus Tullius Tiro, seorang penulis dari abad pertama di Roma. Nama Ampersand baru diberikan setelah 17 abad kemudian. Pada awal 1800-an, murid sekolah belajar simbol ini sebagai huruf ke 27 setelah Z, tapi masih tanpa mana. Jadi di awal 1800-an ini mereka belaar ABC dengan “and per se, and” yang berarti “&” dan kemudian karena saking cepatnya dibaca, akhirnya menjadi “ampersand”

5. Octothorp (tanda #)


Nama aneh untuk tanda penomoran ini datang dari kata “Thorpe”, kata dalam bahasa Normandia Kuno untuk desa atau tanah pertanian yang sering ditemui dalam bahasa Inggris untuk nama tempat. AWalnya digunakan untuk pembuatan peta, yang berarti desa yang di kelilingi delapan pertanian. Karena delapan (octa) dan pertanian (thorpe), maka muncul nama ini, Octothorp

6. Tanda Dollar (tanda $)



Pemerintah Amerika baru menerbitkan uang mereka sendiri pada 1794, dan pada waktu itu masih menggunakan mata uang dunia lama – peso – atau Dollar Spanyol. Koin 1 Dollar Amerika pertama persis sekali seperti uang Peso Spanyol, baik berat maupun nilainya, jadi mereka mengambil singkatan yang sama: Ps. Makin lama perkembangannya, huruf P ditulis menimpa S, dan kemudian mulai lingkaran diatas P tadi dibuang, jadi hanya huruf S yang ditimpa dengan garis vertikal gan..

Senin, 25 Oktober 2010

"Perjalanan Itu Dimulai"

"twenty years have I spent" pertanyaan besar yang sekarang telah hinggap di pikiranQ....???

1. from where I come from? "dari mana aku berasal ? "
2. Who am I actually ? "Siapa aku sebenarnya ? "
3. And what I have? "dan apa yang saya miliki ? "


from where I come from? "dari mana aku berasal ? "

dari mana saya berasal? Sebuah desa di pinggiran Ibu Kota "Bekasi" tepatnya Desa Setia Darma Tambun Selatan Bekasi. walau sempat beberapa saat meninggalkan tempat kelahiran untuk menuntut ilmu di daerah kota cirebon. dan daerah bogor untuk bekerja.

bagi saya setia darma masih merupakan tempat yg memberikan saya banyak pelajaran dan kenangan yg berharga di hidup saya. saya juga berasal dari keluarga yang biasa2 saja. keluarga yg harus slalu bekerja keras untuk dapat melanjutkan hidup di hari esok. tapi saya bersyukur masih di karuniai kluarga yg lengkap dengan seorang adik perempuan yg berbeda hampir 13 thun. 

selain itu saya juga bersyukur. karena dengan asal yg bukan dari kluarga siapa2, saya dapat lebih mengerti tentang hidup ini. tentang pentingnya usaha untuk menggapai sesuatu, cara bertanggung jawab, dan yang terpenting. cara untuk memandang sesuatu hal secara positiv seperti yang telah di ajarkan kedua orang tua saya selama ini.

2. Who am I actually ? "Siapa aku sebenarnya ? "
saya tidak benar2 mengetahui siapa saya sebenarnya. terkadang saya merasa sebagai seorang yg dapt berguna untuk kepentingan diri saya dan kelompok saya di saat saya benar2 berfikir kalau saya memang di butuhkan,. tetapi tdk jarang saya merasa sebagai seseorang yg hanya mengacaukan smua hal-hal yg ada di sekitar saya. di saat saya sediri tidak mengetahui tujuan saya sbenarnya.

tapi yg pasti apabila ada yang bertanya "siapa saya sebenarnya" sebuah kalimat akan terucap dari mulut saya.
"saya adalah hal positiv yg belum kamu punya"

karena dengan kalimat tersebut. dapat memotivasi saya untuk dapat menjadi lebih berguna untuk hal-hal yg ada di sekitar saya. lebih bermanfaat dan selalu diterima oleh sahabat2 saya. karena bagi saya tanpa mereka saya bukan siapa2..."because my friend there".

3. And what I have? "dan apa yang saya miliki ? "

Percaya dan semangat sebagai motivasi untuk dapat lebih berguna.
pengalaman yg berharga agar saya dapat mengarungi semua masalah yg ada di depan nantinya.
kawan-kawan yg sangat berharga dalam hidup saya.
harapan akan seseorng yg percaya akan saya.
kesempatan yg di berikan kepada saya untuk dapat terus berkembang.


terima kasih untuk semua kesempatan, pengalaman, dan kepercayaan yg telah saya dapat,...............

Aplikasi Integritas Diri & Self assessment

Berikut adalah contoh dari konsep Aplikasi Integritas Diri & Self assessment 
perubahan terhadap diri kita hanya bisa dilakukan apabila kita sendirilah yang berusaha untuk merubahnya. 

ini adalah tabel yang saya dapatkan dari modul di tempat saya kuliah. semoga dengan modul ini dapat bermanfaat untuk diri kita dan orang lain yang ada di sekitar kita. ingat "Hanya kejujuran dalam mengisi tabel ini yang dapat merubah kita menjadi lebih baik"



Aplikasi Integritas Diri:
Rencana Peningkatan Integritas Diri
Selama Satu Minggu
Nama : …………………

Dimensi Diri 
 K e g i a t a n



Jenis Kegiatan
Kenyataan
Sekarang
Rencana
Peningkatan
Hari & Jam
Pelaksanaan
Check
Ket
Fisik






Intelektual






Emosional






Spiritual






Sosial








Self assessment
Mata kuliah character building
Nama                                     :
Nim                             :
No. Urut absen         :
Kelas                          :

NO
KOMPONEN
NILAI
KETERANGAN
1
Disiplin/ Absen / Ketepatan Waktu hadir di kelas, mengumpulkan tugas mandiri, merespond tugas/diskusi di forum


2
Sopan Santun (dalam bertutur kata, menghargai orang lain, memerhatikan orang lain, dll)


3
Tata Tertib (dalam pakaian, sikap di kelas, keluar masuk kelas, dll)


4
Motivasi Belajar Character Building (ada antusiasme atau sekadar kuliah,  Menciptakan kegiatan sendiri di luar mata kuliah Character Building, atau tidak fokus)


5
Keaktifan di Kelas (Memperhatikan, bertanya, merespons, atau sekadar hadir, dll.)


6
Tugas Kelompok (keterlibatan dalam persiapan, saat presentasi materinya, dan diskusinya)


7
Tugas Mandiri (mengerjakan tepat waktu, dsb.)


8
Keaktifan Keagamaan
(Keterlibatan Anda dalam aktivitas keagamaan Anda)


9
 Transformasi Diri(Adanya perubahan sikap menjadi lebih baik, atau
stagnan/mandeg, dsb.)



 JUMLAH
Puaskah Anda dengan perkembangan diri Anda?



KESAN & PESAN:                                                        TANDA TANGAN




(……………………….)